Picture by : http://theberry.com/2012/09/25/youre-just-somebody-that-i-used-to-know-25-photos/move-on-22/
Sesuatu yang sudah tidak lagi menjadi milik kita, terkadang terlihat lebih indah.
{Radio Galau FM –Film }
Penyesalan memang selalu di akhir. Mungkin umum perkataan itu, tapi siapapun tak pernah menampik bahwa mereka pernah merasakannya. Meski dalam kadar yang kecil, rasa penyesalan pasti hadir dalam benak siapa saja.
.
.
____________________________Sesal yang Terselip____________________________
Panca tak pernah merasa begitu sepi, saat berkumpul dengan teman-temannya. Meski Ia tak menampik, bahwa berkumpul dengan teman-temannya adalah salah satu dari momen yang terbaik yang pernah Ia rasakan dan Ia tak pernah merasa sendiri. Namun entah, mengapa sekarang seakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya dan membuat hatinya merasa kosong. Itu sungguh tak mengenakkan.
Panca secara tidak sadar memainkan Tab ditangannya, mecari-cari sesuatu dan tak memedulikan beberapa teman yang mengajaknya bercanda. Sampai akhirnya Ia tertegun. Tangannya, entah mengapa menunjukkan foto sosok perempuan itu lagi. Lagi dan entah sudah yang ke berapa untuk hari ini.
Panca mematikan Tab-nya, mendesah kesal. Hal itu mengundang beberapa perhatian teman-temannya, namun hanya beberapa detik dan semuanya kembali seperti semula, mereka kembali pada kesibukkan mereka masing-masing.
Panca memandang mereka semua, mendesah kesal lagi, Panca berlalu meninggalkan teman-temannya.
Tak ada yang bicara. Karena teman-temannya paham.
Panca sedang mengalami masa-masa pasca-putus-pacaran.
.
Lyra menatap wajah temannya dengan gamang. Temannya mengkhawatirkannya, Ia tahu persis itu. Tapi, Ia juga tidak tahu harus seperti apa hidup yang akan Ia jalani untuk kedepannya. Kembali seperti dulu –sudah tidak mungkin. Satu yang menjadi jalan satu-satunya. Move on.
Baiklah, Ia sudah memutuskan.
.
Panca hanya bisa memandangnya, kini. Senyum terukir diwajahnya, meski entah senyum dengan maksud apa. Rasa sesal menyelimuti hatinya. Dan Ia tak menampik itu. Dari awal semua ini adalah keputusan bersama, meski akhirnya Ia yang patut disalahkan. Dan kini, melihat Lyra tersenyum pada pemuda lain, harus diakuinya itu sedikit menyakitkan. Karena dulu, senyum dan tatapan memuja gadis itu hanya pada dirinya. Berbeda dengan sekarang.
Ah, gadis itu. Mengapa terlihat lebih indah sekarang? Batin Panca.
.
.
Lyra tahu, Panca memperhatikannya. Namun, seperti yang sebelumnya telah Ia putuskan, semua tidak akan pernah sama seperti dahulu. Keadaan telah menjadi seperti ini, mungkin bisa diperbaiki, namun tidak akan kembali seperti semula. Sama dengan dirinya dan Panca tidak akan menjadi sepasang kekasih lagi, meski mereka tetap berteman. Karena, semua tidak akan pernah sama lagi.
.
.
(yang telah berlalu)
Pemuda itu mengacuhkannya, untuk kesekian kalinya. Terkadang dirinya hanya menjadi sebongkah batu yang berada ditengah-tengah manusia. Tidak ada yang memperdulikannya, bahkan kekasihnya sendiri. Keadaan itu tetap sama, meski Ia telah perlahan menyelinap keluar dari sekumpulan manusia disana. Menghela nafas berat, Lyra menyadari bahwa Panca belum bisa membagi waktunya –untuk dirinya dan teman-temannya, karena itu Ia memutuskan untuk mundur. Meski Ia tahu, akan ada masa-masa berat yang menantinya. Masa-masa untuk menjadikan pemuda itu kenangan dalam hidupnya.
.
.
.
Ini bukanlah sebuah pilihan, melainkan sudah menjadi yang seharusnya.
Ini bukanlah suatu kesalahan, hanya suatu ketidaksiapan.
Itulah kenyataan.
{S.A}
{Radio Galau FM –Film }
Penyesalan memang selalu di akhir. Mungkin umum perkataan itu, tapi siapapun tak pernah menampik bahwa mereka pernah merasakannya. Meski dalam kadar yang kecil, rasa penyesalan pasti hadir dalam benak siapa saja.
.
.
____________________________Sesal yang Terselip____________________________
Panca tak pernah merasa begitu sepi, saat berkumpul dengan teman-temannya. Meski Ia tak menampik, bahwa berkumpul dengan teman-temannya adalah salah satu dari momen yang terbaik yang pernah Ia rasakan dan Ia tak pernah merasa sendiri. Namun entah, mengapa sekarang seakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya dan membuat hatinya merasa kosong. Itu sungguh tak mengenakkan.
Panca secara tidak sadar memainkan Tab ditangannya, mecari-cari sesuatu dan tak memedulikan beberapa teman yang mengajaknya bercanda. Sampai akhirnya Ia tertegun. Tangannya, entah mengapa menunjukkan foto sosok perempuan itu lagi. Lagi dan entah sudah yang ke berapa untuk hari ini.
Panca mematikan Tab-nya, mendesah kesal. Hal itu mengundang beberapa perhatian teman-temannya, namun hanya beberapa detik dan semuanya kembali seperti semula, mereka kembali pada kesibukkan mereka masing-masing.
Panca memandang mereka semua, mendesah kesal lagi, Panca berlalu meninggalkan teman-temannya.
Tak ada yang bicara. Karena teman-temannya paham.
Panca sedang mengalami masa-masa pasca-putus-pacaran.
.
Lyra menatap wajah temannya dengan gamang. Temannya mengkhawatirkannya, Ia tahu persis itu. Tapi, Ia juga tidak tahu harus seperti apa hidup yang akan Ia jalani untuk kedepannya. Kembali seperti dulu –sudah tidak mungkin. Satu yang menjadi jalan satu-satunya. Move on.
Baiklah, Ia sudah memutuskan.
.
Panca hanya bisa memandangnya, kini. Senyum terukir diwajahnya, meski entah senyum dengan maksud apa. Rasa sesal menyelimuti hatinya. Dan Ia tak menampik itu. Dari awal semua ini adalah keputusan bersama, meski akhirnya Ia yang patut disalahkan. Dan kini, melihat Lyra tersenyum pada pemuda lain, harus diakuinya itu sedikit menyakitkan. Karena dulu, senyum dan tatapan memuja gadis itu hanya pada dirinya. Berbeda dengan sekarang.
Ah, gadis itu. Mengapa terlihat lebih indah sekarang? Batin Panca.
.
.
Lyra tahu, Panca memperhatikannya. Namun, seperti yang sebelumnya telah Ia putuskan, semua tidak akan pernah sama seperti dahulu. Keadaan telah menjadi seperti ini, mungkin bisa diperbaiki, namun tidak akan kembali seperti semula. Sama dengan dirinya dan Panca tidak akan menjadi sepasang kekasih lagi, meski mereka tetap berteman. Karena, semua tidak akan pernah sama lagi.
.
.
(yang telah berlalu)
Pemuda itu mengacuhkannya, untuk kesekian kalinya. Terkadang dirinya hanya menjadi sebongkah batu yang berada ditengah-tengah manusia. Tidak ada yang memperdulikannya, bahkan kekasihnya sendiri. Keadaan itu tetap sama, meski Ia telah perlahan menyelinap keluar dari sekumpulan manusia disana. Menghela nafas berat, Lyra menyadari bahwa Panca belum bisa membagi waktunya –untuk dirinya dan teman-temannya, karena itu Ia memutuskan untuk mundur. Meski Ia tahu, akan ada masa-masa berat yang menantinya. Masa-masa untuk menjadikan pemuda itu kenangan dalam hidupnya.
.
.
.
Ini bukanlah sebuah pilihan, melainkan sudah menjadi yang seharusnya.
Ini bukanlah suatu kesalahan, hanya suatu ketidaksiapan.
Itulah kenyataan.
{S.A}